Tribun Timur, 2/3/2019 |
PERNAHKAH Anda mendapati orang tua yang marah kepada anaknya? Apa yang mereka katakan? Bagaimana dengan kalimat orang tua yang menghakimi anaknya dengan sebutan “anak nakal” atau “anak bodoh”. Di antara kita pasti pernah mendengar atau bahkan kita sendiri yang menjadi pelakunya.
Ketika kita mendapati anak berbuat salah, terkadang orang tua langsung menyebutnya sebagai anak nakal. Di sekolah maupun di rumah, kata-kata yang tak pantas didengar oleh anak terlempar dengan mudah. Tanpa pernah berpikir panjang sebenarnya siapa yang telah memberikan didikan tidak baik pada mereka.
Sangat mengherankan, ketika orang tua mendapati anaknya keliru dalam melakukan suatu hal, namun orang tua enggan memperbaiki. Alih-alih mau mencari penyebab masalah, mereka serta merta menyalahkan sang anak.
Contoh sederhana mari kita ambi daril kasus yang paling banyak terjadi. Misalnya merokok. Orang tua biasa marah ketika mendapati anaknya merokok, namun tak sadar jika sebenarnya anak meniru kebiasaan itu dari ayahnya. Atau mari kita ambil kasus yang lebih sederhana lagi. Orang tua kadang marah saat mendapati anaknya membantah dengan suara keras yang tanpa ia sadari berasal dari dirinya.
Menurut Hurlock (1968) apabila orang tua menerapkan pola perlakuan rejection (penolakan) maka profil tingkah laku anak adalah mudah marah, tidak patuh, pemalu, sulit bergaul. Oleh karena itu, dibutuhkan kita-kiat bagaimana menciptakan hubungan yang pas antara sang anak dan orang tua.
Kalimat Positif
Hindari menyebut anak dengan panggilan “bodoh”. Semisal saat usia anak-anak masih balita, anak sering sekali mencoret-coret tanpa mengenal tempat, mau di dinding kamar, mobil atau pun di lantai.
Ada orang tua yang menghadapi situasi ini dengan tersenyum dan memuji anaknya lalu menasihatinya kemudian memberikannya buku tulis. Ada juga orang tua yang langsung memarahi anaknya lalu mengakhirinya dengan bentakan.
Padahal dengan membentak anak akan mematikan satu milyar sel saraf yang ada di kepalanya. Alhasil kata umpatan yang keluar dari mulut orang tua menjadi kenyataan di masa mendatang.
Menurut Amir Zuhdi, Dokter ahli Neuroscience Indonesia, ketika orang tua membentak, maka anak akan merasa ketakutan. Ketika rasa takut mulai mucul, maka ada peningkatan produksi hormon kortisol pada otak. Nah, pada anak-anak, tingginya hormon kortisol itu akan memutuskan sambungan neuron di otak. Selain itu, akan terjadi percepatan kematian neuron atau apoptosis.
Akibatnya banyak hal yang bisa terjadi, seperti proses berpikir anak menjadi terganggu, sulit mengambil keputusan, anak tidak bisa menerima informasi dengan baik, tidak bisa membuat perencanaan, hingga akhirnya tidak memiliki kepercayaan diri.
Menyembunyikan Masalah
Tak dimungkiri bahwa dalam kehidupan pernikahan akan terjadi perdebatan antara suami istri. Baik perdebatan kecil atau pun perdebatan besar yang secara sengaja atau tidak disengaja kata-kata tidak pantas dengan nada tinggi kadang begitu mudah keluar dari kerongkongan.
Keadaan seperti ini sebaiknya disembunyikan dari hadapan dan telinga anak-anak. Sebab selain akan mengganggu mental dan jiwa sang anak, secara tidak langsung kita mengajarkan kepada anak untuk menjadi pemberontak.
Anak yang sering kita sebut dengan kata 'nakal' atau 'kurang ajar' terkadang adalah mereka yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Mereka lebih banyak menghabiskan harinya bersama teman-temannya di luar rumah.Maka jangan heran ketika dia pulang ke rumah hanya akan membawa dampak kurang baik di dalam perilakunya.
Di masa pertumbuhan, anak sangat membutuhkan contoh yang baik. Ia membutuhkan role model yang bisa ditiru. Maka jangan marah ketika anak yang kurang perhatian dari orangtuanya akan mencontoh atau ikut-ikutan dengan temannya yang bisa jadi memiliki perangai yang tidak pantas diikuti.
Lalu, di saat anak telah terkontaminasi dengan pergaulan yang tidak sehat dari lingkungan, siapa yang akan disalahkan? Pernahkah sebagai orang tua mengaku salah? Atau ego sebagai orang yang lebih besar memperbesar pula rasa gengsi terhadap anak? Anak adalah titipan dari Tuhan. Di mana kelak akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.
Mari kita memberikan didikan yang terbaik yang kita bisa. Mari bersama mulai memperbaiki generasi dari lingkungan terkecil yaitu dimulai dari dalam rumah.
*Ainun Jariah, Guru di MA Aisyiyah Sungguminasa
*Opini ini pertama kali dimuat di Harian Tribun Timur, 2 Maret 2019