Harian Amanah, 13 Februari 2016 |
"Alhamdulillah benar pesan ustadz Rasyid. Allah itu maha pemberi rezeki dan telah mengatur semua rezeki hambanya, selanjutnya tergantung kita mau menjemputnya atau tidak. Menjemputnya tentu saja dengan berusaha. Semut saja Allah perhatikan apalagi kita, lihat tuh semut di atas batu itu, dia mendapatkan rezeki karena dia berusaha mencari," Fahimah menunjuk semut-semut yang berjejer membawa makanan di atas sebuah batu besar di sampingku.
Aku bersyukur Allah mengirimkan sahabat sebaik Fahimah kepadaku. Gadis cantik dan soleha. Anak dari salah seorang petinggi di pesantren. Anak ustadz Rasyid. Meskipun begitu dia tidak pernah sombong. Bukan hanya Fahimah, Ummi Aisyah dan uztadz Rasyid, orangtua Fahimah juga tak kalah baiknya. Dari kecil mereka membesarkan aku dengan sangat baik.
Semenjak ibu meninggal dan ayah pergi menitipkan aku di pesantren, merekalah yang merawatku dengan sangat tulus. Tak jarang aku berfikir andai saja ayah aku sebaik ustadz Rasyid, pasti aku akan sangat bahagia. Tapi, kusingkirkan fikiran itu, karena bagiku kata “andai” sama saja dengan kekosongan.
***
Aku menutup Alquran yang baru saja habis kubaca. Tak pernah kubiarkan malamku berlalu tanpa membacanya. Hatiku akan merasa tenang tiap kali selesai membaca kalimat-kalimat indah yang terangkai sangat sempurna itu. Aku mencium dan meletakkannya di sudut meja. Lalu mengambil laptop yang berada di sampingnya.
Malam ini adalah malam minggu. Jika di luar sana anak-anak seusiaku keluar menghabiskan malam minggu dengan pacar mereka, maka aku juga akan menghabiskan malam mingguku dengan berkutat bersama laptop kesayanganku. Seperti biasa aku akan nge-blog dan menumpahkan seluruh isi hatiku ke dalam tulisan. Aku menuangkan semua yang ada di pikiranku. Baik opini maupun tulisan yang berbau fiksi. Sudah banyak yang kugoreskan di dalam blogku.
Malam ini aku menulis sedikit tentang kerinduanku kepada Ayah. Entah mengapa aku sangat merindukan Ayah. Dan saat tanganku sedang asyik menari di atas tombol laptop, Fahimah tiba-tiba masuk ke kamar dan mengagetkanku. Membuat kata-kata yang telah kurangkai di kepalaku, beranjak dan berhamburan keluar dari otakku.
"Ainiy, aku punya berita bagus untuk kamu. Ini ada pendaftaran untuk sekolah kepenulisan di facebook. Kamu bisa belajar banyak tentang kepenulisan di sini," ucap Fahimah sembari menyodorkan smartphonenya ke arahku. Aku membaca syaratnya satu persatu, saat aku membaca syarat pertama sampai ke empat aku merasa sangat senang karena semua syaratnya dapat aku penuhi. Akan tetapi, saat aku sampai pada syarat terakhir, -syarat ke lima- semangatku tiba-tiba layu. Aku terdiam membisu, lalu mengembalikan smartphone Fahimah.
"Kenapa Niy? Kenapa murung?" tanya Fahimah heran.
"Lihat syarat ke lima Fah, bagaimana bisa aku menulis cerpen nonfiksi tentang Ayah dan Aku, sementara kisahku dengan Ayah sangat terbatas," ucapku lirih.
"Sabar ya Niy, Allah pasti punya rencana yang lebih indah untukmu," ucap Fahimah berusaha menguatkanku.
***
Aku duduk termangu di sudut jendela kamarku. Melempar jauh pandanganku ke atas langit. Kosong. Tak seperti biasanya, kali ini aku menatap langit hambar. Senyumpun susah tuk melengkung. Kubiarkan angin malam menerpa jilbabku. Bersama kehampaan yang mengisi jiwaku.
"Kok murung? Kamu kenapa sayang?" sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku.
"Ah Ummi Aisyah, buat Ainiy kaget saja."
Ummi Aisyah melempar senyum lalu duduk di kursi yang ada di sampingku. Dia mengusap-usap kepalaku dengan lembut.
"Niy, kalau ada masalah cerita sama Ummi, siapa tahu Ummi bisa bantu."
"Ummi, Ainiy sedih. Ainiy pengen masuk sekolah kepenulisan di kampus. Dan besok adalah hari terakhir untuk pendaftaran."
"Kalau mau masuk sekolah kepenulisan, terus kenapa Ainiy belum daftar?"
"Ainiy tidak bisa Ummi, karena syarat untuk masuk sekolah menulis aku harus membuat cerpen bertema Ayah berdasarkan pengalaman nyata. Ceritanya nonfiksi Ummi."
Ummi Aisyah terdiam setelah mendengar ceritaku. Lama kami membisu.
"Andai saja Ayah ada di sini. Kenapa Ayah meninggalkan aku Ummi? Apa Ayah benci sama Ainiy?" tanyaku lirih. Lama terdiam membuatku larut dalam kesedihan dan membuat airmataku meronta keluar.
Ummi yang melihatku langsung memelukku.
"Ainiy, ada sesuatu yang harus kamu tahu nak. Ayahmu tidak meninggalkanmu. Ayahmu sangat menyayangimu."
"Maksud Ummi?"
Ummi Aisyah tidak menjawab. Dia pergi meninggalkanku dengan segudang pertanyaan di kepalaku. Tidak lama kemudian Ummi Aisyah kembali lagi ke kamarku dengan membawa sebuah kotak.
"Ainiy, coba lihat kotak ini. Ini bukti kecintaan ayahmu padamu, nak."
Aku membuka kotak merah itu. Ada setumpuk amplop di dalamnya. Kuperhatikan satu persatu, semuanya ditujukan kepadaku. Tapi aku tidak mengerti.
"Bukalah, kamu akan mengerti."
Kubuka satu persatu surat itu. Airmataku tak bisa terbendung. Ada sesak yang menyerang dadaku. Sangat sakit. Aku telah salah menilai Ayah. Dia bukannya tidak peduli padaku. Aku mungkin hanya menderita batin. Tapi, Ayah? Ayah menderita batin dan fisik. Dia harus tidur di lantai tanpa selimut, berkawan nyamuk, makan seadanya dan hanya bisa melihat ruang yang sama setiap hari. Tak bisa aku bayangkan penderitaan Ayahku.
"Ummi, aku tahu. Ayah bukan orang jahat. Ayahku tidak jahat. Tapi, siapa yang tega memfitnah Ayah, Ummi?"
"Iya. Ayahmu tidak salah sayang. Ayahmu tidak jahat. Dia di fitnah. Waktu itu ayahmu sedang berjalan-jalan mengelilingi kampung. Lalu tiba-tiba dia mendengar suara minta tolong. Ayahmu langsung mencari sumber suara itu. Dan ternyata dia mendapati Dewi, salah satu gadis kampung sebelah dalam semak-semak sedang berlumuran darah. Ayahmu berniat untuk menolongnya. Tapi, belum lagi Ayahmu sempat minta tolong kepada warga lain, Dewi telah menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara disisi lain keluarga Dewi datang bersama warga lain. Keluarga Dewi langsung saja memfitnah Ayahmu. Mereka menuduh ayahmu memperkosa dan membunuh Dewi. Pada saat itu sulit untuk membela diri nak, karena saat kejadian tidak ada saksi yang melihat. Kami telah berusaha membela dan memperjuangkan Ayahmu di pengadilan. Tapi, karena kurangnya bukti dan saksi maka kami kalah di persidangan, Nak, maafkan Ummi yang tidak bisa berbuat apa-apa." Dadaku semakin sesak mendengar cerita Ummi Aisyah. Airmataku kini membasahi surat-surat Ayah.
***
"Aku menyesal pernah membencimu Ayah. Maafkan anakmu yang tak bisa membantu dan merawatmu di saat-saat terakhirmu." Aku mencium nisan kayu yang ada di tanganku. Sekarang aku punya cerita hebat tentang Ayah. Meski terbatas, tapi ini adalah kisah paling hebat yang pernah aku dengar.
Komentar
Posting Komentar