Langsung ke konten utama

Cerpen Kekuatan Jiwa by Ainun Jariah

Waktu telah menunjukkan jam enam lewat tiga puluh menit. Sepagi ini aku sudah berada di atas pete-pete kampus yang akan mengantarku ke kampus 1 UIN Alauddin. Ini adalah rutinitas baru di setiap pagiku. Setelah beberapa menit menunggu penumpang, mobil akhirnya bergerak keluar. Pandanganku ikut menyusuri jalan sekitar kampus. Mataku tertuju pada seorang nenek dipinggir jalan Samata. Dia berjalan dengan tongkat di tangan dan membopong sebuah karung. Tubuhnya telah membungkuk.

Entah apa yang membuatku terus memandanginya hingga penglihatanku tak dapat menjangkau bayangannya lagi karena mobil yang terus melaju. Aku akhirnya mengalihkan perhatianku pada buku yang kupegang. Sepanjang perjalanan aku menggunakan waktuku untuk membacanya. Meskipun hanya sekadar bacaan ringan, setidaknya dapat mengisi sedikit waktu kosongku dan tidak terlalu merasakan lamanya menunggu di pete-pete.

"Astaga dua jam maki di pete-pete, belum paki sampai. Tidak masuk ma lagi jam pertama." Keluh seorang mahasiswa yang duduk di dekat pintu mobil.

Aku melempar pandanganku keluar mobil. Banyak kendaraan yang berdempetan. Ternyata macet. Mendengar keluhan mahasiswa tadi ikut menambah kekhawatiranku, sebab aku masuk pukul 09.00. Sedangkan dosen yang akan mengajar hari ini tidak segan-segan memberi alfa bagi mahasiswa yang datang terlambat. Sementara jarak antara kampus dan posisiku sekarang masih lumayan jauh.

Aku baru tiba di kampus pukul sembilan lewat dua puluh menit. Berarti aku sudah terlambat dua puluh menit. Dengan cepat aku lari menuju kelas yang terletak lumayan jauh dari parkiran. Apa yang aku takutkan di mobil tadi terjadi juga. Dosen sudah mengabsen lima menit sebelum aku datang. Ini adalah kali ketiga aku datang terlambat karena macet. Kalau begini siapa yang akan di salahkan dosen atau sopir pete-pete?

***

Aku menghela nafas dalam-dalam. Air mataku mulai merembes membasahi pipiku. Rasanya ingin menyerah saja. Jika terus-terus seperti ini, aku bisa gila dan nilaiku bisa error. Hampir setiap hari bolak-balik kampus satu ke kampus dua sudah membuatku frustasi, ditambah lagi jika macet di jalan Hertasning yang membuatku terlambat seperti ini.

Sebelumnya tidak pernah terbayangkan jika aku akan berlangganan dengan pete-pete.

Naik pete-pete adalah rutinitas baru yang harus aku jalani semenjak memasuki semester lima, tempat kuliahku yang awalnya di kampus dua Samata dipindahkan ke kampus satu Alauddin. Ini di sebabkan karena ruangan yang terbatas di kampus dua.

Sementara tempat tinggal dan tempat untuk praktikum tetap saja di kampus dua. Hal ini menuntutku mau tidak mau harus naik pete-pete setiap hari.

Aku yang tidak terbiasa naik angkot sering kali merasa pusing dan merasa sesak karena duduknya berdesakan. Hal inilah yang membuatku sering sakit belakangan ini.

***

Satu bulan telah berlalu. Hampir setiap hari aku melihat nenek tua yang berjalan dengan tongkat dengan karung yang selalu ia bopong dibelakangnya. Aku tidak habis pikir dari mana ia mendapatkan tenaga untuk bekerja begitu keras di usianya yang telah renta dan dengan tubuhnya yang telah membungkuk. Sore ini setelah pulang dari kampus. Aku sengaja turun di tempat biasa aku melihat nenek itu berjalan dengan tongkatnya. Tidak lama aku menunggu. Nenek yang aku maksud sudah ada di dekatku. dengan karung yang telah terisi botol dan sampah tempat air gelas. Aku menyapanya dan meminta agar aku saja yang membawakan karung itu.

" Nek bisa aku bantu? Biar aku saja yang membawakan karung nenek?" pintaku.

Nenek itu menoleh ke arahku. Mungkin dia kaget melihatku.

"Ah tidak usah nak. Nenek masih bisa. Lagian rumah nenek sudah dekat. Itu di depan sana." Nenek itu menunjuk sebuah rumah kecil tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Kalau begitu aku bisa ikut ke rumah nenek?"

"Tentu saja," jawab nenek itu sambil menyodorkan senyum.

Sesampai di rumah, nenek mempersilakan aku masuk. Dengan senang hati aku melangkahkan kakiku memasuki rumahnya. Rumah yang sangat sederhana, di dalamnya hanya ada tikar, bantal, alat salat dan beberapa peralatan masak. Bagiku ini sangat kurang. Tidak ada kasur empuk, TV, kipas, dan perlengkapan lainnya yang menurutku sangat penting. Nenek itu duduk di sampingku setelah menaruh karung yang dia bawa.


"Apa yang membawamu ke sini nak?" tanya nenek itu.

"Oh perkenalkan aku Karin nek. Aku Mahasiswi UIN. Maksud kedatangan aku kesini karena Karin sangat salut dengan Nenek. Setiap Karin pergi dan pulang dari kampus, Karin selalu melihat Nenek di jalan dengan membawa karung berisi bekas tempat air minum, padahal di usia Nenek ini seharusnya Nenek istirahat, kan?"

Nenek tersenyum tulus kepadaku. lalu melemparkan sebuah nasihat yang membuatku meleleh.

" Nak, kekuatan terbesarmu sebenarnya ada pada dirimu. Di dalam jiwamu. Saat kau sudah mampu meyakinkan diri bahwa kamu bisa. Maka kekuatanmu akan muncul sendiri."

" Kekuatan jiwa?"

"Benar sekali. Di saat kau mampu menguatkan dirimu. Kau akan mendapatkan jalan keluar dalam setiap masalahmu."

Aku termenung. Mencoba mencerna setiap makna di balik nasihat Nenek. Hingga senja telah menyapa. Aku pun berpamitan untuk pulang. Di akhir pertemuan, aku tak lupa menanyakan namanya dan memberikan oleh-oleh yang telah aku siapkan sebelumnya.

***

Satu semester telah berlalu. Sekarang aku telah memasuki semester enam. Aku tidak pernah datang terlambat lagi. Karena tidak lama semenjak pertemuanku dengan Nenek Saripah, aku mendapat ide untuk memasang Aplikasi Go-Jek di henponku. Dengan begitu aku menjadi lebih gampang untuk pergi kemana-mana. Akupun sudah tidak terlalu merasakan lelahnya bolak-balik dari kampus satu UIN ke kampus dua UIN. Itu semua karena kita sebenarnya memiliki kekuatan dari dalam diri kita sendiri. Selalu ada solusi kreatif dari setiap kejadian. Tapi, hanya sedikit yang menyadarinya.*


Catatan: Pete-pete: Sebutan untuk angkutan kota (angkot) di Sulawesi-Selatan.

*Cerpen ini telah dimuat di Koran Amanah Makassar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi-puisi bahasa Makassar dari kelas IV MI Anassappu Bontonompo

Momen yang sangat berharga untuk saya di tanggal 5 Mei 2018. Tulisan di atas mungkin bagi kita hanya tulisan biasa yang menyerupai cakar ayam. Namun, tahukah kalian jika tulisan-tulisan ini memiliki arti yang mendalam bagi yang dapat memahami bahasa Makassar. Hari ini saya memberikan pelajaran Muatan Lokal kepada siswa-siswi saya di MI Anassappu Bontonompo. Pelajaran muatan lokalnya yaitu Bahasa Daerah. Demi mengembangkan imajinasi dan tetap mempertahankan budaya lokal, saya memberikan tugas membuat puisi kepada siswa saya menggunakan bahasa daerah Makassar Tidak saya sangka, beberapa puisi mereka membuat saya meleleh dan menitikkan air mata. . -Fitriyana Menuliskan tentang kesyukurannya terhadap uang jajan yang diberikan oleh ayahnya. Sedikit banyaknya tidak jadi masalah baginya. Asalkan dia dan adiknya punya uang jajan yang akan dia bawa ke sekolah. . -Ahriani Puisi I Ia menceritakan kebiasaannya sebelum ke sekolah yang selalu membantu ayahnya mengurus sapi. Barulah pada jam 0...

Konsistensi PT Semen Tonasa dalam Menyandang U4 di Kawasan Timur Indonesia

AINUN JARIAH (Mahasiswa Pendidikan Biologi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar) ainunjariiah12@gmail.com Ainun Jariah K ONSISTENSI  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tetap; tidak berubah-ubah; taat asas; kesesuaian; sejalan. Konsistensi adalah hal yang sangat sulit untuk dijaga. Sebab, ada banyak pengaruh-pengaruh dari lingkungan yang mampu menggoyahkan konsistensi itu sendiri. Namun, dalam hal ini PT. Semen Tonasa berhasil menjaga konsistensinya dalam menghasilkan produk yang unggul dan bermutu. Ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan serta penghargaan yang telah didapatkannya sejak tahun 1968.      PT Semen Tonasa (Persero) adalah penghasil semen terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Perusahaan yang berdiri sejak 1968 ini terletak di Desa Biringere, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Jaraknya sekitar 68 kilometer dari kota Makassar. PT Semen Tonasa mempunyai lahan seluas 715 hektare dan emp...

Cerpen Mappabajik by Ainun Jariah

Harian Amanah, 29 Oktober 2016 WAKTU telah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah semua tugas kuliahku rampung aku mendekati ranjang dan merebahkan tubuhku. Hujan di luar belum juga reda. Sesekali terlihat kilatan petir disertai gemuruh guntur. Aku menggigil dingin. Meskipun jendela dan pintu kamar telah terkunci, Udara dingin masih berhasil menembus tembok kamar. Aku menarik selimut yang berada tidak jauh dari kepalaku lalu membungkus badanku. Tentu saja Berharap malam ini aku bisa tertidur lelap. Namun, belum lama mataku terpejam, sebuah suara tiba-tiba membangunkanku. "Rahmat, Rahmat..."  "Rahmat buka pintumu cepat, kalau tidak, saya akan mati."  Aku tersentak kaget mendengar teriakan dan gedoran pintu yang sangat keras dari balik pintu. Dengan mata yang masih sedikit memicing aku bangkit membuka pintu kamar. Mataku membelalak heran melihat Rudi bersama Sari berdiri di depan pintu dengan pakaian basah kuyup. Tanpa meminta persetujuanku ter...